Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 5): Tidak Ada Pengingkaran dalam Masalah Ijtihad
Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihad
Di antara hal yang diperlukan agar bisa berdakwah dengan hikmah adalah kaidah “Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihad.” [1]
Kaidah yang benar berbunyi,
لا إنكار في مسائل الاجتهاد
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihad.”
Sedangkan kalimat yang salah adalah,
لا إنكار في مسائل الخلاف
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah khilaf (perselisihan ulama).”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengingatkan hal ini, beliau berkata, “Ucapan mereka, ‘Tidak ada pengingkaran pada permasalahan khilaf’ adalah pernyataan yang tidak benar.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ucapan mereka, ‘Tidak ada pengingkaran pada permasalahan khilaf’ adalah pernyataan yang tidak benar.”
Mengapa tidak benar? Hal ini karena ada dua macam perselisihan ulama sebagaimana penjelasan berikut ini.
Dua macam perselisihan ulama
Pertama: Masalah yang tidak ada toleransi perselisihan padanya, sehingga ada pengingkaran padanya.
Yaitu, masalah yang ada dalilnya berupa: 1) Nash yang jelas (sharih) dari Al-Qur’an atau hadis yang sahih, tidak ada dalil yang nampak bertentangan dengan keduanya; atau 2) ijma’ yang sah (valid); atau 3) qiyas yang nampak jelas (jali). Maka, untuk permasalahan jenis ini, orang-orang yang menyelisihi dalil-dalil tersebut perlu diingkari.
Kedua: Masalah yang ditoleransi perselisihan padanya, sehingga tidak ada pengingkaran padanya.
Ciri-cirinya adalah: 1) tidak ada dalilnya dari ketiga dalil di atas; atau 2) ada dalil dari hadis, namun ada perselisihan ulama dalam menilai sahih tidaknya hadis tersebut; atau 3) dalilnya tidak jelas dalam menunjukkan kepada sebuah hukum, bahkan mengandung kemungkinan hukum lainnya; atau 4) dalil-dalil tentangnya, zahirnya saling bertentangan.
Maka, untuk permasalahan jenis keempat ini dinamakan permasalahan ijtihad dan berlaku kaidah, “Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihad.” Karena masalah seperti ini adalah masalah yang tidak ada dalil yang wajib diamalkan secara jelas dan tegas, sehingga tergolong ke dalam masalah ijtihad yang ditoleransi adanya perselisihan (khilaf) padanya. Hal ini karena masing-masing pendapat ada sisi pandang ilmiahnya.
Selama seorang muslim awam mengikuti ulama, dan menyangka pendapat ulamanya benar, -asalkan tidak pilah-pilih pendapat ulama berdasarkan hawa nafsunya, namun berdasarkan ketakwaan dan kepercayaan ilmu ulama yang diikuti-, maka tidak ada pengingkaran dalam masalah jenis ini.
Contoh masalah yang ditoleransi perselisihan padanya, sehingga tidak ada pengingkaran padanya seperti batalnya wudu karena memegang kemaluan dan menyentuh wanita, qunut pada salat Subuh setiap hari, dan lainnya.
Catatan:
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihad” itu bukan berarti tidak boleh ada pembahasan, diskusi, perdebatan ilmiah, serta penjelasan manakah pendapat ulama yang terkuat. Bahkan, para ulama dari sejak dulu sampai sekarang selalu berusaha menyelenggarakan diskusi dan perdebatan ilmiah untuk membahas permasalahan-permasalahan ijtihad jenis ini. Barangsiapa nampak kebenaran baginya, maka ia wajib berpegang padanya.
Sikap kita terhadap saudara kita yg mengikuti ijtihad ulama dalam masalah fikih
Simaklah ucapan Syekh Al-Albani berikut:
“Sebagaimana seorang mujtahid jika benar mendapatkan dua pahala dan jika keliru mendapatkan satu pahala, maka demikian juga orang yang mengikuti seorang mujtahid, hukumnya adalah sebagaimana hukum mujtahid.”
Maksudnya, barangsiapa yang mengikuti pendapat yang benar yang dipilih oleh mujtahid, maka ia memperoleh dua ganjaran. Orang yang mengikuti mujtahid (yang pendapatnya benar) tersebut juga mendapatkan dua ganjaran. Tentu saja berbeda antara ganjaran yang diperoleh oleh sang mujtahid dan ganjaran orang yang mengikutinya. Namun, orang yang mengikutinya juga mendapatkan dua ganjaran. Adapun orang yang mengikuti imam lain yang ternyata keliru, maka ia memperoleh satu ganjaran. Demikian pula, orang yang mengikuti imam yang keliru tersebut akan memperoleh satu ganjaran …” (Silsilah Al-Huda wan Nur) [2]
Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah juga menyatakan bahwa seorang muslim yang awam mengikuti mazhab ulama mereka.
Dengan demikian, amalan ibadah yang dilakukan di sebuah komunitas masyarakat, apabila itu adalah perwujudan salah satu mazhab ulama dalam perselisihan yang bisa ditoleransi, hendaknya saling menghormati dan tidak mengingkarinya. Namun tetap menjelaskan pendapat ulama yang terkuat dengan cara bijak dan menghindari jangan sampai menimbulkan mudarat yang lebih besar.
Kembali ke bagian 4: Hal yang Diperlukan agar Bisa Berdakwah dengan Hikmah
Lanjut ke bagian 6: [Bersambung]
***
Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah
Artikel asli: https://muslim.or.id/88597-tidak-ada-pengingkaran-dalam-masalah-ijtihad.html